“Minal
‘aidin wal faizin,” demikian harapan dan doa yang kita ucapkan kepada
sanak keluarga dan handai tolan pada Idul Adha. Apakah yang dimaksud
dengan ucapan ini? Sayang, kita tidak dapat merujuk kepada Al-Quran
untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kata ‘aidin, karena bentuk
kata tersebut tidak bisa kita temukan di sana. Namun dari segi bahasa,
minal ‘aidin berarti “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali.”
Kembali di sini adalah kembali kepada fitrah, yakni “asal kejadian”,
atau “kesucian”, atau “agama yang benar”.
Setelah mengasah dan mengasuh jiwa – yaitu berpuasa – selama satu bulan, diharapkan setiap Muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dn menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagai mana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena – menurut Rasulullah – al-aidin al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan, dan alam.
Setelah mengasah dan mengasuh jiwa – yaitu berpuasa – selama satu bulan, diharapkan setiap Muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dn menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagai mana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena – menurut Rasulullah – al-aidin al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan, dan alam.
Sementara
itu, al-faizin diambil dari kata fawz yang berarti “keberuntungan”.
Apakah “keberuntungan” yang kita harapkan itu? Di sini kita dapat
merujuk pada Al-Quran, karena 29 kali kata tersebut, dalam berbagai
bentuknya, terulang. Menarik juga untuk diketengahkan bahwa Al-Quran
hanya sekali menggunakan bentuk afuzu (saya beruntung). Itupun
menggambarkan ucapan orang-orang munafik yang memahami “keberuntungan”
sebagai keberuntungan yang bersifat material (baca QS 4:73)
Bila
kita telusuri Al-Quran yang berhubungan dengan konteks dan makna
ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, ditemukan bahwa seluruhnya
(kecuali QS 4:73) mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan
serta kebahagiaan surgawi.” Kalau demikian halnya, wal faizin harus
dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk
orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT sehingga kita
semua mendapatkan kenikmatan surga-Nya.
Salah
satu syarat untuk memperoleh anugerah tersebut ditegaskan oleh Al-Quran
dalam surah An-Nur ayat 22, yang menurut sejarah turunnya berkaitan
dengan kasus Abubakar r.a. dengan salah seorang yang ikut ambil bagian
dalam menyebarkan gosip terhadap putrinya sekaligus istri Nabi, Aisyah.
Begitu marahnya Abubakar sehingga ia bersumpah untuk tidak memaafkan dan
tidak memberi bantuan apapun kepadanya.
Tuhan
memberi petunjuk dalam ayat tersebut: Hendaklah mereka meaafkan dan
berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 24:22).
Marilah kita saling berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling
mengucapkan minal ‘aidin wal faizin. semoga kita dapat kembali
mendapatkan jati diri kita semoga kita bersama memperoleh ampunan,
ridha, dan kenikmatan surgawi. Amin
SAYA DAN SEKELUARGA MENGUCAPKAN
MINAL AIDIN WAL FAIZIN
Mohon Maaf Lahir Dan bathin