« باللغة الإندونيسية »
تأليف: د. أحمد بـن عثمان المزيد
ترجمة: قسم الترجمة بموقع فتاوى أون لين
مراجعة: محمد خير الدين
Segala puji bagi
Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Amma ba’du :
Bukan suatu rahasia
lagi bagi para pengamat sejarah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam (sirah) dan sunnahnya mengenai riwayat-riwayat
tematik yang muncul berkenaan dengan kaum hawa, di era naungan edukasi dan
petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga bisa
dikatakan, bahwa beliaulah pelopor revolusi terhadap tradisi umum (berupa
penindasan dan pelecehan) terhadap kaum perempuan di masa itu dan masa-masa
sebelumnya.
Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mendapati fenomena ketidakberdayaan (perempuan) ini, yang
senantiasa dizalimi dan ditindas, kehormatannya dilecehkan, hak berkehendaknya
dirampas, direndahkan serta dimarjinalkan, yang telah berlangsung berabad-abad
dan dari masa ke masa yang saling berjauhan. Tidak ada alasan lain yang
melandasi sikap kesewenangan ini, melainkan hanya karena gender mereka adalah
perempuan. Sampai-sampai penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh salah
seorang masyarakat Jahiliyah saat itu, yaitu dengan membiarkan anjingnya
menyakiti anak putrinya.
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam datang mengibarkan panji advokasi terhadap hak-hak
perempuan, di zaman yang belum pernah dikenal dimana hak-hak perempuan
dilecehkan sebagaimana yang terjadi pada saat itu. Misi beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ini, diawali dengan memuliakan kedudukan perempuan
melalui firman Allah Ta’ala :
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ ﴿٧٠﴾ سورة الإسراء
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.”
(QS.17:70).
Dan firman-Nya :
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ﴿٢٢٨﴾ سورة البقرة
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma`ruf.” (QS.2:228).
Adapun
hak-hak yang telah sukses diperoleh oleh kaum perempuan di masa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam terhitung banyak, diantaranya adalah prinsip kesamaan
(egaliter) antara golongan pria dan perempuan dalam derajat kemuliaan,
kewajiban agama (taklif) dan ganjaran ukhrawi. Allah Ta’ala berfirman :
مَنْ
عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
﴿٩٧﴾ سورة
النحل
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS.16:97).
Juga mengenai hak
kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan yang layak, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam :
طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (رواه الطبراني)
“Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ath-Thabrani).
Kewajiban ini termasuk bagi
kaum perempuan, karena disana tidak ada indikasi yang ditujukan khusus untuk
muslim pria saja, secara teks agama (an-nash). Sehingga prinsipnya
berlaku umum. (Dalam satu riwayat) para perempuan pernah berkata kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam :
غَلَبَنَا
عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا
لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ (متفق عليه)
“Kaum pria telah mengalahkan kami atasmu, maka jadikanlah hari
(khusus) bagi kami (untuk menimba ilmu) dari dirimu. Kemudian beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menetapkan hari bagi mereka, hari dimana beliau bisa
bertemu (khusus) dengan mereka, lalu menasehati dan memerintahkan mereka.”
(Muttafaqun ‘Alaihi).
Diantara hak perempuan yang lainnya, memperoleh kehidupan
yang layak, rasa aman dan keadilan hukum. Telah diriwayatkan bahwa sekelompok
perempuan pergi ke rumah-rumah para istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
untuk mengadukan sikap suami-suami mereka. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda :
طَافَ
بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
(رواه أبو داود)
“Sungguh keluarga Muhammad (yaitu istri-istri Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam) dijambangi banyak kaum perempuan yang mengadukan
(perihal) suami-suami mereka, (maka) para lelaki tersebut (yaitu para suami
yang diadukan) bukanlah orang-orang yang baik diantara kalian” (HR. Abu Daud).
Demikianlah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjatuhkan kualitas kebaikan para
lelaki tersebut berdasarkan kerisauan yang dirasakan istri-istri mereka atas
perlakuan suami mereka, dan inilah puncak keadilan (al-inshaf) bagi kaum
perempuan.
Begitu
pula Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan hak keluar rumah bagi
kaum perempuan untuk memenuhi berbagai hajat, termasuk untuk menghadiri
shalat-shalat fardhu di masjid, dan yang lain sebagainya. Dalam ash-Shahihain
:
لاَ
تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ
“Jangan kalian melarang para (wanita) hamba-hamba Allah (untuk
mendatangi) masjid-masjid Allah.”
Mengenai hak-hak harta benda bagi kaum hawa, adalah haknya
dalam mahar. Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَآتُواْ
النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ﴿٤﴾ سورة النساء
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS.4:4).
Maksudnya adalah berikan oleh
kalian terhadap wanita-wanita (yang hendak kalian nikahi) akan mahar-mahar
mereka sebagai kewajiban (kalian).
Dan haknya
dalam memperoleh nafkah (dari suaminya), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam
ابْدَأْ
بِمَنْ تَعُولُ
(متفق
عليه)
“Mulailah dengan orang yang kamu (wajib) nafkahi.” (Muttafaqun
‘Alaihi).
Dan sabda beliau lainnya :
امْرَأَتُكَ
مِمَّنْ تَعُولُ (رواه أحمد)
“Istrimu termasuk orang yang kamu (wajib) nafkahi.” (HR. Ahmad).
Mengenai
hak perempuan dalam memperoleh tempat tinggal, berdasarkan Firman Allah Ta’ala
:
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ ﴿٦﴾ سورة الطلاق
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu.” (QS.65:6).
Demikian
pula kebebasan untuk mengelola harta dalam berbagai bentuk transaksi finansial,
seperti jual beli, hutang piutang, gadai, sewa menyewa, wakaf, donasi harta,
dan lain sebagainya.
Perempuan
juga mempunyai hak untuk menuntut cerai atas suaminya, yang istilah agamanya
adalah al-khulu’ (tuntutan cerai yang diajukan oleh istri). Telah
diriwayatkan bahwa istri Tsabit bin Qais berkata :
رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا
أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ
حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: يَا ثَابِتُ اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً (رواه البخاري)
“Wahai Rasulullah, Tsabit bin
Qais adalah orang yang paling buruk perilaku dan agamanya. Namun aku membenci
kekufuran dalam Islam.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Maukah kamu kebun darinya?” Ia menjawab, “Iya.” Beliau bersabda : “Wahai Tsabit, serahkan
kebunmu (kepada istrimu), dan ceraikan ia dengan sebuah talak.” (HR.
Al-Bukhari).
Demikian pula
perempuan telah memperoleh haknya dalam waris, hal itu setelah (di zaman
Jahiliyah) perempuan diwariskan seperti harta benda. Dimana sang istri
diwariskan turun temurun kepada keluarga dari suaminya. Hingga putra sulungnya
jika dia mau, dapat menikahi istri bapaknya, atau jika salah seorang mereka
menghendaki, juga dapat menikahi perempuan tersebut. Dan jika mereka mau, dapat
menggantung nasib perempuan tadi hingga maut menjemputnya, atau perempuan itu
dapat membebaskan status dirinya dengan memberikan uang sebagai tebusannya. Dan
setelah fenomena ini semua, maka jadilah perempuan bagian dari kelompok yang
berhak mendapatkan harta warisan, yang disebut dalam istilah agamanya adalah Ashhab
al-furudh (orang-orang yang memiliki hak waris).
Diantara hak-hak
partisipasi politik bagi perempuan, adalah diberikannya hak baiat,
akuntabilitas, syura, rasa aman, perlindungan, memberikan nasehat, dsb.
Sebagaimana pernah Ummu Hani meminta perlindungan terhadap seorang pria dari
kalangan orang-orang musyrik, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan
jaminan keamanan bagi wanita tersebut. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda :
قَدْ
أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ (متفق عليه)
“Sesungguh kami akan melindungi orang yang kamu mintai
perlindungan.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Ini adalah
(kisah) seorang wanita yang menghentikan Umar bin al-Khaththab ra. yang saat
itu telah menjabat sebagai seorang khalifah, sementara banyak orang di
sekitarnya (pada waktu itu). Lalu wanita tersebut menasehati beliau seraya
menyatakan kepadanya, “Wahai Umar!! Dahulu kamu dipanggil dengan sebutan ‘Umair
(Umar kecil), kemudian (sekarang) kamu dipanggil orang dengan gelar Amirul
Mukminin. Wahai Umar, bertakwalah kepada Allah.
Sungguh orang yang meyakini kematian, (niscaya) ia akan takut untuk
mengabaikan (kewajiban agama yang dipikulnya). Dan orang yang meyakini hari
perhitungan, (niscaya) ia akan takut akan siksa Allah. Sementara itu Umar terus
berdiri mendengarkan ucapan wanita itu. Lalu Umar ditanyai orang mengenai
sikapnya saat itu, lalu beliau ra. berkata., “Demi Allah, seandainya perempuan
tadi menahanku sejak awal hari hingga dipenghujungnya, maka aku akan tetap
(menyimaknya dan berdiri demikian) kecuali (sekedar) untuk menunaikan shalat
fardhu (saja). Adakah diantara kalian yang mengenal perempuan tua tersebut? Dia
adalah Kaulah binti Tsa’labah, (seorang wanita yang) perkataannya didengar oleh
Allah dari atas langit ke tujuh. Pantaskan (jika) Rabb semesta alam ini
mendengar perkataannya, sementara Umar tidak mendengarkannya ?!!
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan kepada
wanita mengenai haknya untuk keluar rumah dalam kerangka bekerja dengan
mengindahkan prinsip-prinsip syari’ah yang sudah umum diketahui. Diantara dalil
mengenai hal ini, bahwa istri Abdullah bin Mas’ud ra. dahulu memiliki sebuah
keahlian kerajinan tangan, ia menjual dari produk kerajinan tangannya, dan menafkahkan suami dan anak-anaknya dari hasil
kerajinannya tersebut. Lalu ia menanyai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita
yang memiliki ketrampilan, maka aku menjual dari produksi kerajinanku, sementara
aku dan demikian pula suamiku serta anak-anakku tidak memiliki sesuatu apapun.
Mereka membuatku sibuk, maka tidakkah aku (seharusnya) bersedekah? Lalu apakah
aku mendapatkan ganjaran atas nafkahku kepada mereka?.” Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Bagimu pahala atas (perbuatanmu) tersebut.”
(HR. Ibnu Hibban).
Diantara
hak-hak perempuan yang sangat signifikan yang diperoleh oleh kaum hawa dalam
perkara pengasuhan anak. Dalam suatu riwayat, pernah seorang wanita mendatangi
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seraya berkata : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya anakku ini memiliki bagian dari perutku sebagai bejana makanannya,
puting susuku sebagai bejana minumannya, dan pangkuanku sebagai pegangannya.
Dan sungguh ayahnya berkehendak untuk mengambilnya dariku.” Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda :
أَنْتِ
أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي (رواه أحمد وأبو داود)
“Kamu lebih berhak (untuk
mengasuhnya) selama kamu belum menikah (lagi).” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mereformasi keadaan-keadaan
kaum perempuan, antara kedudukan dan hak-haknya di dalam Islam. Dan yang paling
banyak dipesankan mengenai kaum perempuan, dan memperingatkan atas sikap
kesewenang-sewenangan dan arogansi dan serta pemboikatan terhadap hak-hak
mereka. Yang demikian itu dapat dilihat dalam teks-teks agama (nash)
secara umum. Ibarat menara-menara jalan, setiap tempat terdapat
petunjuk-petunjuknya. Demikian itu seperti dalam sabda-Nya :
إِنَّمَا
النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ (رواه أحمد وأبو داود)
“Sesungguhnya perempuan itu
adalah pecahannya laki-laki” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Artinya
memiliki kesetaraan dan kesamaan dengan kaum pria dalam akhlak dan tabiat,
seolah ia merupakan pecahannya laki-laki. Sementara itu sabda beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang lain :
حُبِّبَ
إِلَىَّ مِنْ دُنْيَاكُمُ النِّسَاءُ وَالطِّيبُ وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِىَ فِى الصَّلاَةِ
(رواه النسائي)
“Dari dunia kalian yang
menjadi kesukaanku adalah wanita dan wewangian. Dan shalat dijadikan sebagai
pelipur hatiku.” (HR. An-Nasa’i).
Dan sabda beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam lainnya :
لاَ
يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
(رواه مسلم)
“Janganlah seorang laki-laki beriman
membenci seorang wanita beriman, kalaulah ada sikap yang ia tidak sukai dari
wanita tersebut, (mesti) ada pula sikap lain dari wanita tersebut yang yang ia
sukai.” (HR. Muslim).
Dan sabda beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam lainnya :
وَاسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ
الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ
إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا (متفق
عليه)
“Nasehatilah para perempuan
secara baik-baik. Sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk, dan
sesungguhnya bagian yang paling bengkok pada tulang rusuk adalah yang paling
atas. Seandainya kamu meluruskannya, akan mematahkannya. Kalaulah kamu
membiarkannya, maka akan selalu bengkok. Nasehatilah para perempuan dengan
baik-baik.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dan ini merupakan pemahaman
mendalam terhadap tabiat perempuan, serta dorongan untuk bermuamalah terhadap
wanita dengan penuh keramahan, kelembutan dan perhatian, tidak keras dan kasar.
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memperingatkan terhadap sikap eksploitasi perempuan, dan
secara realitasnya menjadikan pelakunya di dalam situasi yang sulit, berdosa
lagi sengsara dan tidak dapat dimaafkan tindakannya. Maka beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda :
اللَّهُمَّ
إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ
(رواه ابن ماجة)
“Ya Allah, sesungguhnya aku
akan membuat sesak (orang yang mengeksploitasi) hak orang-orang lemah, anak
yatim dan perempuan.” (HR. Ibnu Majah).
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam menjelaskan bahwa sebaik-baik pria adalah yang terbaik
interaksinya terhadap perempuannya. Maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda :
خِيَارُكُمْ
خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
(رواه الترمذي)
“Sebaik-baik kalian, (adalah)
yang sikapnya terbaik terhadap perempuan-perempuan mereka (sendiri).” (HR.
Tirmidzi).
Belum pernah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memukul seorang perempuan pun, sebagaimana yang
dituturkan oleh ‘Aisyah ra. dalam riwayat Muslim. Bahkan sesungguhnya beliau
bersikap keras terhadap orang-orang yang memukul perempuan-perempuan mereka.
Beliau bersabda :
يَضْرِبُ
أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ ضَرْبَ الْعَبْدَ ثُمَّ يُعَانِقُهَا مِنْ آخِرِ النَّهَارِ
(متفق عليه)
“Salah seorang dari kalian
memukul perempuannya dengan pukulan kepada budak, kemudian ia memeluknya (baca:
mengintiminya) di siang hari.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dan inilah
pelajaran edukatif yang menyentuh dalam menjaga perasaan istri, khususnya saat
ia dibutuhkan oleh suami dalam urusan “ranjang”.
Sesungguhnya kami meyakini
bahwa diantara faktor-faktor penting yang menjadi perempuan Saudi menderita di
komunitas masyarakat Saudi, kita adalah terkekangnya mereka dari beberapa
hak-hak syar’i mereka. Dan sarana yang terbaik untuk membahagiakan mereka dan
membahagiakan masyarakat adalah dengan memebrikan mereka hak-haknya tersebut.
Dari sini sesungguhnya kami menyerukan kepada upaya merealisasikan misi-misi
pencerahan untuk mensosialisasikan hak-hak syar’i perempuan Saudi, meliputi
seluruh distrik, desa dan kota di wilayah Saudi Arabia. Turut melibatkan dalam
misi ini para orator peduli urusan perempuan dari kalangan penulis, jurnalis,
pendidik, pengasuh, juru dakwah, reformis, khatib masjid, cendekiawan, dan
profesi lainnya. Juga hak-hak perempuan ini diajarkan kepada para pelajar pria
dan wanita di sekolah-sekolah dan universitas-universitas mereka. Para perempuan
pun turut mengambil perannya dalam misi ini. Maka inilah yang menjamin
kebahagiaan perempuan Saudi, dan memberikan kepada mereka akan hak-hak
syar’inya, serta melindungi mereka dari penampilan-penampilan yang menyimpang,
menyelamatkan mereka dari setiap aspek yang memberikan pengaruh (buruk)
terhadap agama mereka. Dan ini juga merupakan termasuk dalam aktifitas ibadah
yang agung selayaknya ibadah-ibadah yang telah disyariatkan oleh Allah Ta’ala.
Keistimewaan
tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menegaskan
dan memurnikan hak-hak perempuan secara komprehensif dan integratif mencangkup
seluruh tingkatan umurnya. Maka beliau memberikan kepada kalangan perempuan
hak-haknya, baik dia itu berstatus sebagai seorang anak putri, saudara wanita,
istri, ibu, remaja putri, nenek, perempuan yang merdeka atau budak sekalipun.
Berkeadaan sehat, sakit, kaya, faqir, hingga perempuan musyrik sekalipun, ia
mendapatkan bagian haknya ..... Adapun mengenai anak perempuan, Islam telah
menghapus tradisi penyikapan yang buruk terhadap anak perempuan. Al-Qur`an
memulai menyebutkan bahwa anak putri sebagai sebuah karunia dari
karunia-karunia-Nya yang terbesar yang diberikan kepada manusia. Allah
berfirman :
لِلَّهِ
مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثاً
وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ ﴿٤٩﴾ سورة الشورى
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia
menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada
siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia
kehendaki.” (QS.42:49).
Dan menghapuskan tradisi
mengubur hidup-hidup anak perempuan, dalam firman-Nya :
بِأَيِّ
ذَنبٍ قُتِلَتْ ﴿٩﴾ سورة التكوير
“Karena dosa apakah dia dibunuh?!.” (QS.81:9).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda :
إِنَّ
اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الأُمَّهَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ
(رواه
مسلم)
“Sesungguhnya Allah
mengharamkan kepada kalian, sikap durhaka kepada ibu, pelit (terhadap hal yang
harusnya diberikan) dan menuntut (yang tidak berhak diperolehnya), serta
membunuh anak perempuan” (HR. Muslim).
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam menghapus tradisi mengutamakan dan membeda-bedakan antara anak
yang satu daripada anak yang lainnya.
فَاتَّقُوا
اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ
(متفق عليه)
“Bertakwalah kepada Allah,
dan bersikap adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam mengajarkan bahwa mendidik anak-anak perempuan membutuhkan
kesabaran ekstra dan nafkah yang besar. Maka atas hal ini diganjar dengan
balasan yang besar pula. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
مَنْ
عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ
أَصَابِعَهُ (رواه
مسلم)
“Barangsiapa mengasuh dua
anak gadis hingga keduanya dewasa, maka dia kelak datang di hari Kiamat, aku
dan dia ....(Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan isyarat
dengan merapatkan jarinya).” (HR. Muslim).
Simaklah
pemandangan mengagumkan ini yang diriwayatkan oleh Saiyidah ‘Aisyah ra., ia
menuturkan baahwa seorang perempuan miskin datang (kepadanya) membawa kedua
putrinya, (dalam riwayat lain, “Aku memberikan tiga kurma kepada wanita
tersebut.” Pent.), lalu sang ibu memberikan kurma (satu-satu) kepada setiap
putrinya, (pada saat) sang ibu mengangkat kurma (yang tersisa satu itu) ke arah
mulutnya untuk disantapnya, lalu kedua putrinya tadi memintanya lagi. Maka sang
ibu membagi kurma yang hendak disantapnya itu (menjadi dua bagian untuk
diberikan) kepada kedua putrinya. Sikap perempuan ini membuatku terkesan, lalu
kuceritakan apa yang telah diperbuat sang ibu tadi kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Kemudian beliau bersabda :
إِنَّ
اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ
(متفق عليه)
“Sesungguhnya Allah telah
mengharuskannya surga baginya dengan kurma tersebut.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
وأمر النبي بالإحسان إلى البنات فقال:
« ما من مسلم تدرك له
ابنتان فيُحسن إليها ما صَحِبتَاه أو صَحِبهما إلا أدخلتاه الجنة
» [أحمد].
وكان العربيُّ في الجاهلية يأنف من أن
يداعب وليدته أو يقبلها, فأبطل النبي هذه العادة, وكان يحملُ أُمامة بنت ابنته على
عاتقه وهو يصلي, فإذا ركع وضعها، وإذا رفع رفعها. [متفق عليه].
Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam memerintahkan dengan sikap yang terbaik kepada nak-anak perempuan
:
مَا
مِنْ رَجُلٍ تُدْرِكُ لَهُ ابْنَتَانِ فَيُحْسِنُ إِلَيْهِمَا مَا صَحِبَتَاهُ أَوْ
صَحِبَهُمَا إِلاَّ أَدْخَلَتَاهُ الْجَنَّةَ
(رواه أحمد)
“Tidaklah seorang muslim yang
memiliki dua anak putri, kemudian ia menyikapi secara baik atas (setiap)
perlakuan kedua putrinya terhadapnya, atau perlakuannya terhadap kedua
putrinya. Melainkan (lantaran) kedua putrinya tersebut, ia dimasukkan ke dalam
surga.” (HR. Ahmad).
Dahulu di
zaman Jahiliyah, bangsa arab menganggap rendah orang yang bermain-main dengan
anak perempuannya, apalagi sampai menciumnya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menghapus tradisi ini, dan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengendong Umamah binti Zainab (putri beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam)
di atas pundak beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sementara beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dalam keadaan shalat. Saat beliau hendak ruku’,
diturunkannya. Dan saat beliau bangun, diangkatnya lagi. (Sebagaimana yang
terdapat dalam ash-Shahihain).
Beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam berkata mengenai putrinya, Fathimah :
فَاطِمَةُ
بَضْعَةٌ مِنِّي يَرِيبُنِي مَا رَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا
(متفق عليه)
“Fathimah adalah darah
dagingku, yang meragukannya berarti meragukanku, dan yang menyakitinya berarti
menyakitiku.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dan
perhatikanlah betapa hangatnya muamalah dan kelembutan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ketika berjumpa dengang putrinya. Pernah Fathimah
berjalan menuju Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berkata :
مَرْحَبًا
بِابْنَتِي ثُمَّ أَجْلَسَهَا عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا
حَدِيثًا فَبَكَتْ ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا حَدِيثًا فَضَحِكَتْ
(متفق عليه)
“Selamat datang wahai
putriku, kemudian beliau mendudukkannya di samping kanan beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, atau di sebelah kirinya. Kemudian Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menyampaikan sebuah perkataan kepada putrinya, lalu
Fathimah menangis. Kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menyampaikan sebuah perkataan kepada putrinya, lalu Fathimah tertawa..” (Muttafaqun
‘Alaihi).
Adapun untuk saudara
perempuan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
مَنْ
عَالَ ثَلاَثَ بَنَاتٍ ،
أَوِ ثَلاَثَ أَخَوَاتٍ ، أَوْ أُخْتَيْنِ ، أَوِ ابْنَتَيْنِ فَأَدَّبَهُنَّ وَأَحْسَنَ
إِلَيْهِنَّ وَزَوَّجَهُنَّ فَلَهُ الْجَنَّةُ
(رواه أبو داود)
“Barang siapa yang mengasuh
tiga anak putri, atau tiga saudara perempuan. Atau dua saudara perempuan, atau
dua anak perempuan, lalu mendidik dan bersikap baik kepada mereka, serta
menikahkannya, maka baginya surga.” (HR. Abu Daud).
Sedangkan
untuk istri, maka telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tentang betapa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik interaksinya
dan lembut sikapnya, mulia jiwa dan kepribadiannya, sehingga tinta pun tidak
sanggup untuk mendeskripsikannya, namun cukuplah bagi kita untuk menyebutkan
beberapa riwayat mengenai hal tersebut. Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda :
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي (رواه ابن حبان)
“Sebaik-baik kalian adalah
yang terbaik dari kalian sikapnya kepada keluarganya. Dan aku adalah yang
terbaik dari kalian sikapnya kepada keluarga.” (HR. Ibnu Hibban).
Jabir bertutur mengenai sikap
Nabi kepada istrinya yang bernama Aisyah :
وَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً سَهْلاً إِذَا هَوِيَتْ
الشَّيْءَ تَابَعَهَا عَلَيْهِ (رواه مسلم)
“Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah seorang lelaki yang pengertian, jika (Aisyah)
menghendaki sesuatu maka beliau mengikutinya.” (HR. Muslim).
Maka dimana orang-orang yang
menyangka bahwa pemimpin (leader) itu adalah lelaki yang sanggup menolak
semua yang dituntut oleh istrinya, Sekalipun itu mudah untuk dilakukan?
Alangkah indahnya sikap yang dituturkan oleh Aisyah ra., bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah menyatakan kepadanya :
إِنِّي
لأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى، قَالَتْ
: مِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذَلِكَ ، فَقَالَ : أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً فَإِنَّكِ
تَقُولِينَ لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى قُلْتِ لاَ وَرَبِّ
إِبْرَاهِيمَ ، قَالَتْ : أَجَلْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَهْجُرُ إِلاَّ
اسْمَكَ (متفق عليه)
“Sungguh aku mengetahui, saat-saat kamu senang kepadaku, dan
saat-saat kamu marah kepadaku.” Aisyah bertanya, “Darimana kamu mengetahui hal
itu?”. Maka beliau menjawab, ((Adapun jika kamu sedang senang kepadaku maka
kamu berkata, “Tidak, Demi Rabbnya Muhammad.” Sedang jika kamu sedang marah
padaku, kamu berkata, “Tidak, demi Rabbnya Ibrahim”)). Aisyah bertutur, “Benar,
Demi Allah. Wahai utusan Allah, tidaklah aku mengucilkan kecuali (hanya) pada
namamu.”
Maka bagaimana dengan kita
mengenai sikap hangat, penuh kelembutan, mesra dan kebahagiaan ini?. Masih dari
Aisyah berkata :
خَرَجْتُ
مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ وَأَنَا
جَارِيَةٌ لَمْ أَحْمِلْ اللَّحْمَ ، فَقَالَ لِلنَّاسِ : تَقَدَّمُوا ، ثُمَّ قَالَ
لِي : تَعَالَيْ حَتَّى أُسَابِقَكِ ، فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ ، فَسَكَتَ عَنِّي
حَتَّى إِذَا حَمَلْتُ اللَّحْمَ وَنَسِيتُ خَرَجْتُ مَعَهُ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ
، فَقَالَ لِلنَّاسِ : تَقَدَّمُوا ، ثُمَّ قَالَ : تَعَالَيْ حَتَّى أُسَابِقَكِ ،
فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِي ، فَجَعَلَ يَضْحَكُ وَهُوَ يَقُولُ : هَذِهِ بِتِلْكَ
(رواه أبو داود)
“Aku pernah keluar bersama
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam beberapa perjalanan, sedang
saat itu aku seorang wanita yang tidak membawa perbekalan daging. Maka beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berkata kepada para sahabatnya, ‘Majulah kalian semua.’
Kemudian berkata kepadaku, ‘Kemarilah hingga aku mendahuluimu.’ Maka aku dan
beliau saling berusaha mendahului, maka aku mampu mendahuluinya, lalu dia
mendiamkanku. Hingga saat aku membawa daging dan aku lupa mengeluarkannya
bersamanya di suatu perjalanannya (yang
lain), maka beliau berkata kepada para sahabatnya, ‘Majulah kalian semua.’
Kemudian dia berkata kepadaku, “Kemarilah (Aiysah), hingga aku dapat
mengalahkanmu.’ Selanjutnya aku dan dia berusaha untuk saling mendahului, maka
beliau dapat mendahuluiku. Kemudian mulailah beliau tersenyum dan berkata, ‘Ini
untuk (balasan kekalahan) yang itu.’ ((HR. Abu Daud).
Sungguh
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun sangat memperhatikan kebutuhan
seksual perempuan, maka beliau memotivasi para suami untuk memuaskan kebutuhan
ini bagi perempuan, sehingga tidak menjadikannya menyimpang dan berselingkuh
kepada selain suaminya, maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda :
وَفِي
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ
وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ
عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
(رواه مسلم)
“Dan pada kedua paha kalian,
terdapat sedekah.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah jika salah
seorang dari kami memuaskan syahwatnya, maka dengan begitu dia memperoleh
pahala?” Beliau menjawab, “Apa pendapatmu, seandainya dia meletakkan syahwatnya
pada tempat yang diharamkan, bukankah bagianya dosa?! Demikian pulalah jika ia
meletakkannya pada yang halal, baginya pahala.” (HR. Muslim).
Dan diantara
sikap apresiasi Nabi terhadap perempuan bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam melarang para suami untuk berburuk sangka terhadap istri-istri
mereka dan mencari-cari kesalahan mereka. Jabir ra. berkata :
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ
لَيْلًا يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ
(متفق عليه)
“Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam melarang para lelaki untuk mendatangi keluarganya pada
malam hari, menghianati dan mencari-cari kesalahan mereka.” (Muttafaqun
‘Alaihi).
Maka
adakah penghormatan yang lebih tinggi kepada perempuan dari bentuk dilarangnya
kalangan pria masuk ke rumahnya pada malam hari tanpa diketahui oleh istrinya,
jika maksudnya untuk memata-matainya dan mencari-cari kelemahannya !!!
Nabi saw menstimulasi para
suami untuk semakin meningkatkan nafkah istri-istri mereka, maka beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash ra. :
إِنَّكَ
لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا
حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
(متفق عليه)
“Sesungguhnya tiada kamu
mendermakan apa pun jua karena Allah, melainkan kamu diganjari pahala atasnya,
hingga yang kamu masukkan (makanan) pada mulut istrimu.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam juga bersabda :
أَفْضَلُ
دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى عِيَالِهِ
(رواه مسلم)
“Seutama-utama dinar adalah
dinar yang didermakan seorang laki-laki kepada keluarganya.” (HR. Bukhari).
Sabda beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang lain :
إِنَّ
الرَّجُلَ إِذَا سَقَى امْرَأَتَهُ مِنْ الْمَاءِ أُجِرَ
(رواه أحمد)
“Sesungguhnya jika seorang
lelaki memberikan minum air kepada istrinya, dibalas pahala.” (HR. Ahmad).
Beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam menegaskan dengan sabdanya :
إِنَّ
اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ ، أَحَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضُيِّعَ ، حَتَّى
يُسْأَلُ الرَّجُلُ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ (رواه ابن حبان)
“Sesungguhnya Allah Ta’ala
akan menanyai setiap pemimpin atas apa yang menjadi tanggungjawabnya,
apakah dia memelihara (amanah) tersebut atau diabaikannya. Hingga seorang
kepala rumah tangga akan ditanyai tentang perkara keluarganya.” (HR. Ibnu
Hibban).
Beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda :
الدُّنْيِا
مَتَاعٌ ، وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
(رواه مسلم)
“Dunia adalah perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim).
Sedang
kesetiaan terhadap istri setelah wafatnya, telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dengan keteladanan yang sangat mengharukan dalam konteks
ini. Anas ra. menyatakan,
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
jika mendapatkan hadiah, berkata :
اذْهَبُوا
بِهِ إِلَى فُلانَةَ، فَإِنَّهَا كَانَتْ صَدِيقَةً لِخَدِيجَةَ
(رواه الطبراني)
“Pergilah
ke fulanah, dia dahulu adalah kawannya Khadijah.” (HR. Ath-Thabrani).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidak pernah melupakan peran seorang ibu yang oleh
perundang-undangan hak asasi manusia internasional dilupakan. Beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ditanya oleh seorang sahabat :
مَنْ
أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ
أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
(متفق عليه)
“Siapa orang yang paling
berhak untuk aku layani dengan sebaik-baiknya?.” Beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam menjawab, “Ibumu.” Pria itu bertanya (lagi), “Kemudian siapa
(lagi)?” Beliau (kembali) menjawab, “Ibumu.” Pria itu bertanya (lagi),
“Kemudian siapa (lagi)?” Beliau (kembali) menjawab, “Ibumu.” Pria itu bertanya (lagi), “Kemudian siapa
(lagi)?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Seorang lelaki datang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata :
يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ فَقَالَ هَلْ
لَكَ مِنْ أُمٍّ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
(متفق عليه)
“Wahai Rasulullah, aku ingin
berperang, sungguh aku datang untuk meminta pengarahanmu.” Lalu beliau
bertanya, “Apakah kamu masih punya ibu.” Ia menjawab, “Benar.” Beliau bersabda,
“Maka mengabdilah kepadanya, sesungguhnya surga dibawah kakinya.” (HR.
An-Nasa’i).
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah seorang yang sangat proporsional terhadap
perempuan. Dimana dan kapanpun beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berada, senantiasa mendudukkan dan menempatkan perempuan pada keadaan yang
selayaknya. Anas ra. berkata, “Pernah seorang dari budak-budak perempuan
Madinah mengambil tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu
pergi membawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sekehendak
hajatnya.” (HR. Bukhari).
Dan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam belum pernah memperkenankan pemukulan terhadap budak
perempuan. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada orang
yang memukul budak perempuannya :
أَعْتِقْهَا
فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ (رواه
مسلم)
“Bebaskan dia (budak
perempuan), sesungguhnya dia adalah seorang perempuan yang beriman.” (HR.
Muslim).
Maka tindak penempelangan
menjadi alasan yang cukup untuk membebaskan seorang budak bagi Muhammad
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dan dalam riwayat lain :
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ لاَ يَأْنَفُ أَنْ يَمْشِيَ مَعَ الأَرْمَلَةِ
وَالْمِسْكِينِ فَيَقْضِيَ لَهُ الْحَاجَةَ
(رواه النسائي)
“Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak merasa segan berjalan dengan para janda dan orang
miskin, kemudian beliau (pun) memenuhi kebutuhan untuk keduanya.” (HR.
An-Nasa’i).
Demikian pula dengan wanita
yang lanjut usia di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka
dari Aisyah ra. berkata, “Seorang wanita tua renta datang kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang saat itu sedang berada di sisiku. Lalu Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bertanya kepadanya, ‘Siapa anda?’ Ia menjawab, ‘Aku Jatstsamah
al-Muzaniyah (wanita pandir dari kabilah Muzaniyah).’ Lalu beliau berkata,
‘Bahkan engkau adalah Hassanah al- Muzaniyah (wanita baik dari kabilah
Muzaniyah), bagaimana anda sekarang? Bagaimana kabar anda? Bagaimana anda
sepeninggal kami?’ Perempuan tua itu menjawab, ‘Baik-baik saja, demi bapak dan
ibuku, ya Rasulullah.’ Ketika ia keluar, Aisyah ra. berkata, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, anda menyambut wanita tua ini dengan gaya penyambutan
(sangat hormat, pent.) seperti ini?’ Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya
perempuan tadi telah datang kepada kami (sejak) masa Khadijah, dan sungguh
keterikatannya pada keimanan baik’.” (HR. Al-Hakim).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam seorang yang memelihara untuk , dari Anas bin Malik bahwa seorang
seorang wanita yang terganggu akalnya, berkata, “ Wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya punya keperluan padamu.” Lalu Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berkata, “Wahai ibu fulan! Perhatikanlah jalan yang mana
yang kamu kehendaki untuk berdiriku, hingga aku dapat berdiri bersamamu.” Maka
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berlalu bersamanya, beliau
berpisah setelah wanita tersebut telah memenuhi keperluannya.” (HR. Muslim).
Adapun
mengenai perempuan musyrik, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melarang melakukan pembunuhan terhadap mereka, saat peperangan sekali pun. Pernah suatu ketika,
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendapati adanya mayat seorang
perempuan yang terbunuh di suatu peperangan. Maka beliau berhenti di sisi mayat
perempuan tersebut, kemudian berkata, “Jangan (sampai) pembunuhan (semacam) ini
terjadi.” Kemudian memandangi wajah-wajah para sahabatnya, seraya bersabda
kepada salah seorang mereka,
الْحَقْ
خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ فَلاَ يَقْتُلَنَّ ذُرِّيَّةً وَلاَ عَسِيفًا وَلاَ امْرَأَةً
(رواه أحمد وأبو داود)
“Yang benar wahai Khalid bin
al-Walid, janganlah mereka membunuh anak-anak, dan tidak pula buruh (yaitu
tenaga kerja sewaannya), dan kaum wanita.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Demikianlah beberapa
riwayat yang berkenaan dengan hak-hak perempuan dan kedudukannya di sisi Rasulullah
dan kekasih kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Tak pelak lagi saat ini, di
realitas terkini kita, betapa kita sangat membutuhkan tuntunan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ini beserta implementasinya. Memberikan hak-hak kepada
kaum perempuan secara integral, dan memandang bahwa hal itu adalah suatu bentuk
ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala. Dan ini lebih mengena di
dalam membumikan petunjuk-petunjuk Nabi, dari pada sekedar
berkoar-koar dan mengibarkan panji-panji syiar, tanpa disertai implementasinya
di lapangan.
Sungguh jika kita
merealisasikan hal ini, dan menghadirkan gambaran menawan mengenai Islam kepada
para cendekia, maka mungkin ini menjadi factor penyebab orang-orang menerima
Islam lebih banyak lagi daripada apa yang kita lihat pada hari ini.