Saudariku Muslimah … . Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:
“ Apa yang dikatakan
Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7)
Yakni apa yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
perintahkan kepadamu maka kerjakanlah dan apa yang dilarangnya, jauhilah.
Sesungguhnya beliau hanya memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari
kejelekan.
Ibnu Juraij berkata : “Apa yang datang kepadamu untuk taat
kepadaku (Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) maka kerjakanlah dan apa
yang datang kepadamu untuk bermaksiat kepadaku maka jauhilah.”
Pengertian ayat di atas bersifat umum yakni mencakup semua
perintah dan larangan, karena beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidaklah
memerintahkan kecuali membawa kebaikan dan tidaklah melarangnya kecuali
mengandung kerusakan (kebinasaan). (Lihat Al Manhiyat Al ‘Asyr Li An Nisa’ oleh
Abi Maryam Majd Fathis Said halaman 7)
Maka dalam rangka mengerjakan perintah Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan Nabi-Nya, kami akan berusaha menukil beberapa hadits Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan keterangan ulama yang berkaitan dengan judul
di atas.
Bisa kita saksikan kenyataan di sekitar kita, semakin
banyak kaum Muslimah mengadakan safar tanpa didampingi oleh mahramnya. Amalan
semacam ini tak lain hanya akan membawa kebinasaan bagi wanita tersebut baik di
dunia maupun di akhirat. Karena itu agama Islam yang hanif memberikan benteng
kepada mereka (kaum Muslimah) dalam rangka menjaga dirinya, kehormatannya, dan
agamanya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“ Janganlah wanita
melakukan safar selama 3 hari kecuali bersama mahramnya.” (Hadits shahih,
dikeluarkan oleh Bukhari 2/54, Muslim 9/106, Ahmad 3/7, dan Abu Dawud 1727)
“ Tidak halal bagi
seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar
(bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwasanya ia
mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“ Janganlah seorang
wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang
laki-laki masuk menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang
bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan
itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama istrimu
(menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan Ahmad)
Komentar Ulama Dalam Masalah Safar Bagi Wanita
Asy Syaikh Abi Maryam menyebutkan dalam bukunya Al Manhiyat
Al ‘Asyr li An Nisa’ bahwa hadits-hadits yang menyebutkan tentang batasan safar
bagi wanita tanpa mahram berbeda-beda. Ada yang menyebutkan “selama sehari
semalam”, ada pula yang menyatakan “tiga hari”, dalam riwayat lain dikatakan
“selama tiga malam”, sedangkan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan “selama satu
barid” yakni perjalanan setengah hari.” Dalam hal ini ulama mengatakan bahwa
perbedaan tersebut terjadi karena berbedanya orang yang bertanya dan berbedanya
negeri tempat tinggal. Namun demikian tidak berarti bahwa larangan yang
gamblang hanya selama 3 hari sedangkan yang kurang dari itu dibolehkan.
Al ‘Allamah Al Baihaqi juga mengomentari hal ini dengan
ucapan beliau :
“ Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam seolah-olah ditanya tentang
wanita yang melakukan safar selama tiga hari tanpa mahram, lalu beliau menjawab
tidak boleh dan beliau ditanya tentang perjalanannya (safar) selama dua hari
tanpa mahram kemudian beliau menjawab tidak boleh, demikian pula halnya tentang
perjalanannya sehari atau setengah hari beliau tetap menjawab tidak boleh.
Kemudian setiap dari mereka mengamalkan apa yang didengarnya. Oleh karena itu
hadits-hadits yang dibawakan dari satu riwayat dengan lafadh yang berbeda
berarti hadits tersebut didengar di beberapa negeri, maka perawinya
kadang-kadang meriwayatkan yang ini dan kadang-kadang meriwayatkan yang itu dan
semuanya adalah shahih.” (Syarhul Muslim li An Nawawi 9/103)
Imam Ahmad rahimahullah berkata bahwasanya bila wanita
tidak mendapati suami atau mahram yang menemaninya, maka tidak wajib baginya
menunaikan haji. Ini sesuai dengan perkataan ulama Ahlul Hadits yang
sebelumnya, demikian pula perkataan Al Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakha’i,
Ishaq bin Rahuyah dan Ats Tsauri.
Imam Al Baghawi mengatakan :
“ Ulama sepakat bahwa
dalam perkara yang bukan wajib tidak dibolehkan bagi wanita melakukan safar
kecuali disertai oleh suami atau mahram yang lain, terkecuali wanita kafir yang
telah masuk Islam di negeri musuh atau tawanan wanita yang telah berhasil
meloloskan diri dari tangan-tangan orang kafir, mau tidak mau ia harus keluar
dari lingkup mereka dengan tanpa mahram, walaupun ia seorang diri bila tidak
merasa takut.” (Syarhus Sunnah 7/20)
Yang lainnya menambahkan :
“ Atau wanita yang
tertinggal dari rombongannya/tersesat, lalu ditemukan oleh seorang laki-laki
yang bukan mahram yang dapat dipercaya, maka boleh bagi laki-laki tadi
menemaninya hingga ia mendapatkan rombongannya kembali.” (Syarhus Sunnah 7/21)
Mughrim Bagi Wanita
Abu Maryam dalam bukunya Al Manhiyat mengatakan :
“ Mahram bagi wanita
adalah siapa saja yang diharamkan menikah dengannya secara mutlak (selamanya)
seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, dan yang dihukumi sama
dengan mereka melalui susuan, demikian pula suami dari putri-putrinya (menantu)
yang telah bercampur dengan mereka (yakni menantu tersebut telah melakukan
jima’ dengan putrinya sebagaimana layaknya suami istri). Termasuk dalam
hitungan mahram bagi wanita adalah suaminya.” (halaman 68)
Adapun laki-laki yang sewaktu-waktu menjadi halal menikah
dengannya seperti budak atau saudara iparnya maka mereka ini tidak termasuk
mahram karena tidak dianggap aman terhadapnya dan tidak haram baginya untuk
selama-lamanya, maka mereka ini dihukumi seperti orang lain.
Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak-anak (laki-laki)
bisa dijadikan mahram?” Beliau menjawab : “Tidak, hingga ia mencapai usia
baligh karena ia belum dapat mengurus dirinya sendiri maka bagaimana ia
dipercaya keluar mengantar seorang wanita. Hal itu karena mahram berfungsi
sebagai penjaga bagi wanita tersebut dan ini tidak didapatkan kecuali dari
orang yang baligh dan berakal.”
Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi mengomentari pernyataan di atas
dengan mengatakan bahwa ucapan yang mengatakan disyaratkannya lelaki yang
baligh dan berakal sebagai mahram bagi wanita di dalam safar, alangkah baiknya
jika disempurnakan dengan menambahkan syarat berikutnya yaitu memiliki bashirah
(ilmu dien), sehingga jadilah syarat itu : Baligh, berakal, dan memiliki
bashirah. (Untuk pembahasan lebih lanjut tentang mahram, lihat Salafy Muslimah
edisi XIV dalam Rubrik Kajian Kali Ini).
Kenapa Disyaratkan Dengan Mahram
Islam yang hanif ingin menjaga wanita Muslimah dari setiap
bahaya yang akan menimpanya dan ingin menjaga kehormatannya dengan berbagai
cara dan bermacam-macam wasilah guna memberikan manfaat baginya baik di dunia
maupun di akhirat. Oleh karena itulah disyaratkan mahram dalam safar bagi
wanita Muslimah tersebut. Dan ini adalah perhatian syariat Islam yang lurus
kepada kaum wanita dan perkara ini tidaklah membawa mereka kepada jurang
kebinasaan atau kesempitan.
Keluarnya wanita sendirian akan memberikan dampak yang
negatif bagi kaum laki-laki maupun bagi dirinya sendiri, lebih-lebih bila ia
keluar dengan ber-tabarruj, menampakkan perhiasan bukan pada mahramnya. Maka
syariat melarang mereka untuk banyak keluar rumah tanpa ‘uzur yang syar’i,
memerintahkan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan agar
mereka menjaga dirinya, agamanya, dan kehormatannya dari kehinaan dan
kerendahan yang akan menimpanya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“ Sesungguhnya wanita
itu adalah aurat, maka apabila keluar, syaithan akan menghiasinya.”
(Dikeluarkan oleh Al Bazzar dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al
Albani dalam Irwaul Ghalil jilid I)
Hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas
merupakan peringatan kepada kaum wanita agar tidak banyak keluar rumah tanpa
disertai mahram. Islam melarang mereka agar tidak terjerumus pada
perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sebab-sebab
yang akan mengantarkan pada perbuatan zina.
Safar Dalam Rangka Menunaikan Ibadah Haji
Jika Anda bertanya : “Apakah dibolehkan bagi wanita
melakukan safar dalam rangka menunaikan ibadah haji tanpa disertai mahram?”
Imam At Tirmidzi rahimahullah tekah meringkas sebuah
jawaban untuk pertanyaan di atas. Beliau mengatakan bahwa Ahlul ‘Ilmi (ulama)
masih memperbincangkan permasalahan ini, sebagian dari mereka berkata : [ Tidak
wajib baginya menunaikan ibadah haji karena mahram merupakan persyaratan
perjalanan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“… bagi orang yang sanggup melakukan perjalanan kepadanya …
.”
Mereka mengatakan bila wanita tersebut tidak memiliki
mahram berarti ia belum sanggup melakukan perjalanan kepadanya. Ini adalah
ucapan Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kufah. Sedangkan sebagian Ahlul Ilmi yang
lainnya mengatakan : “Bila perjalanan menuju haji dijamin aman, maka ia boleh
keluar menunaikan ibadah haji bersama manusia yang lain.” Ini adalah pendapat
Malik bin Anas dan Imam Syafi’i. ]
Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi setelah membawakan secara
panjang lebar dalil-dalil dari kedua pihak (yang membolehkan dan yang tidak
membolehkan) mengatakan : “Setelah melihat dalil-dalil yang ada, tampak padaku
bahwa dalil dari mereka yang menyatakan tidak bolehnya adalah lebih kuat karena
larangan bagi wanita melakukan safar tanpa mahram adalah bersifat umum tadi,
dengan demikian ia termasuk dalam larangan yang umum ini,
sedangkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah
bersabda : ‘Apa saja yang aku larang bagi kalian, maka tinggalkanlah.’ Wallahu
A’lam.”
Fatwa-Fatwa Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin memberikan fatwa berkaitan dengan
hajinya seorang wanita tanpa mahram. Berikut ini jawaban beliau dari beberapa
pertanyaan yang dilontarkan :
1. Sebagian wanita pergi melaksanakan umrah tanpa mahram
dan kadang-kadang bersama mereka seorang pembantu laki-laki dan pembantu wanita
serta sopir. Kami mengharapkan kejelasan perkara tentang safar guna pelaksanaan
umrah dan i’tikaf bagi seorang wanita yang tidak disertai mahram. Apakah boleh
untuk menjadikan sebagian mereka sebagai mahram pada sebagiannya?
Beliau menjawab : [ Tidak boleh bagi wanita untuk safar
tanpa mahram, baik untuk umrah maupun yang lainnya. Karena telah tsabit dalam
Shahih Bukhari dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, ia berkata :
Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda : “Tidak boleh seorang laki-laki ber-khalwat dengan wanita lain dan
tidak boleh bagi wanita untuk safar kecuali bersama mahramnya.”
Seorang wanita haram pergi sendirian dengan pengemudinya,
walaupun masih dalam batasan negerinya. Karena pengemudi itu telah ber-khalwat
dengannya dan tidak ada perbedaan antara keadaannya wanita tersebut ketika
berkumpul atau tidak berkumpul. Dan sungguh telah datang hadits bahwa seseorang
berkata :
“ Wahai Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam! Sungguh istriku ingin keluar
untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka beliau
bersabda : “Kembalilah, maka berhajilah bersama istrimu.” (Dikeluarkan oleh
Bukhari, bab Jihad, Fathul Bari 6/142-143)
2. Apakah boleh bagi wanita untuk safar dengan naik kapal
terbang dengan keadaan aman tapi tanpa mahram?
Beliau menjawab : [ Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam bersabda :
“Tidak boleh safar bagi wanita kecuali bersama mahram.”
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengucapkan hadits
tersebut ketika memberikan khutbah di atas mimbar dalam pelaksanaan ibadah
haji. Maka berdirilah seseorang dan berkata :
“ Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam! Sungguh istriku keluar
untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka jawab
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Kembalilah, maka berhajilah
bersama istrimu.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
memerintahkan padanya untuk meningalkan perang dan melaksanakan haji bersama
istrinya dan tidaklah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata :
“Apakah istrimu dalam keadaan aman?”
Atau : “Apakah bersamanya ada wanita lain?”
Atau : “Bersama tetangganya?”
Maka ini menunjukkan keumuman larangan safar bagi wanita
tanpa disertai mahram. ]
Wanita Keluar Menuju Pasar
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hafidhahullah pernah ditanya :
“Bolehkah seorang wanita keluar menuju pasar tanpa disertai mahramnya dan
kapankah yang demikian itu dibolehkan serta kapankah diharamkannya?”
Beliau menjawab : [ Pada dasarnya, keluarnya wanita menuju
pasar adalah boleh dan tidak disyaratkan bahwa ia harus disertai mahram kecuali
jika dikhawatirkan terjadi fitnah. Dalam keadaan demikian ia tidak
diperkenankan keluar kecuali jika disertai mahram yang menjaga dan
melindunginya. Hukum bolehnya ia keluar menuju pasar adalah diiringi dengan
sebuah syarat yang harus ia penuhi yaitu tidak berhias dan tidak memakai minyak
wangi (parfum) karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah
melarangnya. ]
Kebolehan wanita keluar ke pasar tak luput diikat dengan
syarat-syarat yang ketat, di antaranya hendaklah wanita itu keluar karena
kebutuhan yang mendesak, hendaklah menggunakan hijab yang sempurna menurut
syariat dan tidak ber-tabarruj, tanpa berhias dan tanpa berminyak wangi.
Wanita Berduaan Bersama Sopir Jika Bepergian, Bolehkah ?
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz ketika ditanya
tentang hukum wanita berkendaraan seorang diri hanya ditemani sopir yang
membawanya ke tengah kota
(belum keluar dalam batas safar). Beliau menjawab : [ Tidak boleh seorang
wanita berkendaraan hanya dengan seorang sopir tanpa disertai orang lain yang
bersamanya karena yang demikian ini termasuk dalam hukum ber-khalwat
(berduaan), padahal Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda :
“Janganlah berduaan seorang laki-laki dengan seorang wanita
kecuali wanita tersebut disertai mahramnya.”
“Janganlah berduaan seorang pria dengan seorang wanita
karena syaithan menjadi pihak ketiga dari keduanya.”
Adapun jika ada orang lain beserta keduanya baik seorang
ataupun lebih, baik pria ataupun wanita, maka ini tidak mengapa baginya, bila
di sana tidak
ada sesuatu yang meragukan, karena keadaan khalwat (berduaan) akan hilang
dengan sendirinya dengan hadirnya orang yang ketiga atau lebih. Ini dibolehkan
selama belum masuk dalam batas safar. Adapun di dalam safar maka tidak boleh
seorang wanita melakukan safar kecuali bila disertai mahramnya sebagaimana
telah warid dalam sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Penutup
Saudariku Muslimah …….. .
Wanita keluar rumah tanpa mahram dan tanpa ada kebutuhan yang
syar’i merupakan dosa baginya. Lebih baik dan lebih suci bagi wanita untuk
tetap tinggal di rumahnya agar kaum laki-laki tidak melihatnya dan wanita
itupun tidak melihat padanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :
“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) di rumah-rumah kalian.”
Tidaklah ada perkara yang lebih mendekatkan diri wanita
dengan Rabb-nya melebihi bila ia tetap tinggal di rumah dan berusaha menjadi
wanita yang diridhai-Nya dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya dan taat kepada
suaminya.
Ali radhiallahu 'anhu pernah berkata :
“ Apakah kamu tidak
malu … dan apakah kamu tidak tertipu … , kamu membiarkan wanita keluar di
antara kaum laki-laki untuk melihat padanya dan mereka pun (kaum laki-laki)
melihat pada kaum wanita tersebut.” (Lihat Al Kabair, Adz Dzahabi halaman
171-172)
Al Iffah (harga diri), rasa malu, dan kelembutan adalah
sesuatu yang bernilai tinggi, nilainya tidak dapat ditakar dengan harga dunia
beserta seluruh isinya dan ini merupakan kekhususan bagi wanita Muslimah yang
tak dimiliki oleh wanita lain. Oleh karena itu Allah dan Rasul-Nya melalui
syariat yang agung menetapkan aturan-aturahn yang dapat mempertahankan
eksistensi dari kekhususan ini dan semuanya itu diletakkan dengan hikmah yang
tinggi.
Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar
memperlihatkan kepada kita al haq dan membimbing kita untuk mengikutinya dan
memperlihatkan kepada kita al bathil dan membimbing kita untuk menjauhinya. Ya
Allah, tuntunlah kami ke jalan-Mu yang lurus. Amin !!!