Sebagian di kalangan wanita masih ada yang menganggap
terlahir menjadi seorang wanita adalah musibah, karena mereka merasa sudah
harus menyandang predikat manusia kelas dua setelah kaum laki-laki. Bahkan pada
masanya, pandangan sebagian orangtua dahulu, melahirkan seorang anak berjenis
kelamin wanita adalah satu hal yang tidak perlu disyukuri (dalam bahasa yang
lebih kasar; satu hal yang patut disesali). Bagaimana tidak, mereka berpikir
mengurus anak perempuan lebih sulit dibanding anak laki-laki. Dari mulai
pakaiannya yang lebih mahal (karena lebih beragam) sampai kepada perwalian
ketika menikah yang menjadi kewajiban bagi sang ayah termasuk mencarikannya
jodoh yang baik. Terlebih ternyata sampai kini pun masih ada suami-suami (dan
terkadang istrinya) yang entah disadari atau tidak masih terjebak dalam
kerangka berpikir diskriminasi gender. Lihat saja ungkapan, “Anakku lelaki dong
…” yang diungkapkan dengan bangga ketika kerabatnya menanyakan jenis kelamin
anak yang baru saja lahir. Atau masih adanya (bahkan sampai kini) keluarga yang
belum mau berhenti memiliki anak sebelum mendapatkan anak laki-laki, meski
sudah memiliki lima
anak wanita. Wacana-wacana seperti inilah yang kemudian terus dihembuskan oleh
kaum feminis yang kerap salah dalam memandang perbedaan gender yang seringkali
dibahasakan sebagai ‘pembedaan’.
Sebelumnya juga maaf jika judul diatas harus menggunakan
kata “menjadi” karena kata tersebut bisa diartikan sebagai kata transisi atau
perubahan dari satu kondisi kepada kondisi yang lain. Kata “menjadi” yang
diletakkan di depan kata “wanita” bisa saja diartikan dari bukan wanita menjadi
wanita. Namun bukan itu yang dimaksudkan tentu dalam tulisan ini, pemilihan
kata “menjadi” didasari pada satu kondisi bahwa masih banyak kaum wanita yang
secara fisik adalah wanita namun pola berpikir, tingkah laku, penampilan dan
bahkan kebiasaan sehari-harinya pun selalu mengacu kepada obsesi untuk tidak
tersaingi oleh kaum lelaki. Mungkin sebenarnya lebih tepat menggunakan kata
“sebagai” yang terasa lebih pas digunakan di depan kata “wanita”.
Terlahir sebagai wanita bukanlah satu hal yang harus
disesali, karena justru banyak wanita yang merasa bangga sebagai wanita. Ini
tentu bukan karena adanya fenomena makin bertebarannya waria, apalagi di
negara-negara tertentu ada undang-undang yang mengakui eksistensi kaum
tersebut. Bahkan di beberapa negara sering diselenggarakan kontes kecantikan
kaum ‘bukan asli wanita’ itu. Diciptakannya laki-laki karena wanita, atau lebih
tepatnya wanita diciptakan karena memang laki-laki akan hidup kesepian tanpa
wanita (baca: kasih sayang dan ketentraman). Bahwasannya Allah sangat memahami
kebutuhan laki-laki (Adam) akan hadirnya wanita yang bersamanya Allah sematkan
kasih sayang, kedamaian dan ketentraman hidup, maka Dia pun menciptakan makhluk
yang bernama wanita (Hawwa) yang diambil dari salah satu tulang rusuk lelaki.
Bahkan selanjutnya, tak ada yang bisa disombongkan oleh
kaum lelaki karena sehebat dan segagah apapun mereka terlahir dari rahim wanita
yang sering dianggap sebagai makhluk lemah. Lalu atas dasar apa kemudian para
wanita tidak merasa bahwa menjadi wanita adalah satu hal yang seharusnya
disyukuri, karena sungguh mereka berada pada posisi yang tidak pernah bisa
disamakan oleh lelaki. Lihat saja betapa Rasulullah menempatkan seorang wanita
(ibu) lebih utama untuk dipergauli dengan baik.
Wanita dengan segala keistimewaanya, masih terus
mendapatkan kenikmatan dari fitrahnya sebagai kaum Hawwa. Mereka, misalnya,
tidak diwajibkan mencari nafkah karena suami merekalah yang akan memberi nafkah
(QS. Annisa:34), karena hal itu telah diwajibkan atas diri para lelaki yang
oleh Allah telah diberikan kelebihan juga sebagai pemimpin dari bagi wanita.
Dan jika belum masanya bagi wanita berumahtangga maka kewajiban nafkah atas
dirinya pun masih ditanggung oleh ayahnya (yang juga laki-laki).
Kehalusan dan kelembutan sikap yang menjadi ciri khas
wanita semakin melengkapi kepercayaan Allah sejak awal menempatkan sebuah janin
di rahimnya hingga anak yang dikandungnya itu lahir dan besar dengan sentuhan
lembut dan halus yang dimilikinya. Terbukti, disetujui atau tidak oleh kaum
lelaki, setiap anak biasanya akan merasa lebih tentram, nyaman dam tenang bila
bersama ibu mereka. Ini tentu sangat erat dengan hubungan mereka yang begitu
mendalam semasa dalam susuan, apa yang dimakan ibu dirasakan juga oleh anak,
perasaan apapun yang menggangu ataupun menggembirakan ibu, terpancar juga dari
tangis dan senyuman sang anak.
Allah Sang Pencipta manusia dengan bentuk yang sempurna pun
menambahkan kesempurnaan wanita dengan bentuk anatomi yang berbeda dari kaum
lelaki. Dengan bentuk dan rupa yang cantik, wanita menjadi makhluk yang terasa
tidak indah dunia tanpa kehadiran keindahan tersendiri dari sosok wanita
sehingga tidak berlebihan jika Allah mewajibkan kaum lelaki menahan
pandangannya (QS. An Nuur: 30). Wanita jualah yang kerap melahirkan inspirasi
berbagai puisi dan syair lagu maupun lukisan bertema keindahan.
Tidak hanya itu, sedemikian mulianya wanita dalam pandangan
Islam sehingga menjadikan wanita salah satu yang patut dilindungi ketika
terjadi peperangan, maka teramat mulialah wanita yang justru ikut bahu membahu
bersama kaum lelaki dalam peperangan membela agama Allah.
Nah, dari sekian keistimewaan dan kemuliaan yang dilimpahkan
terhadap wanita tentu seharusnya tidak ada alasan bagi wanita (muslimah) untuk
bersikeras menuntut persamaan hak dan kewajiban dengan kaum lelaki. Selain
karena pembedaan itu tidak ada, karena banyak ayat maupun hadits yang telah
menyatakan ketidakberbedaan keduanya dalam persoalan kesempatan beramal dan
mendapatkan derajat tinggi di sisi Allah. Kalaupun ada perbedaan (bukan
pembedaan) itu hanya perbedaan yang mengikuti sifat kewanitaan yang dimiliki,
semisal tingkat kerasnya pekerjaan. Atau juga hal-hal fitrah yang jelas tidak
mungkin bisa dilakukan oleh laki-laki seperti mengandung, melahirkan dan
menyusui. Selebihnya, tidak ada yang menghalangi wanita untuk meraih sukses dan
prestasi bahkan melebihi lelaki. Wallahu’alam bishshowaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar