14.1.11

Peranan Istri Dalam Rumah Tangga


Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu  qawammuna  'alan nisa'  biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena ayat  tersebut  berbicara  tentang  pembagian  kerja  antara suami-istri.  Memahami pesan ayat ini, mengundang kita untuk menggarisbawahi  terlebih  dahulu  dua  butir  prinsip  yang melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
  1. Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya    pada bentuk fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis.    Bahkan menurut Dr. Alexis Carrel salah seorang dokter yang    pernah meraih dua kali hadiah Nobel -perbedaan tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masing-masing  kelamin.   Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap kedua jenis manusia itu didasarkan oleh    perbedaan-perbedaan itu.
  1. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak  menjadikan salah satu pihak bebas dan tuntutan – minimal dari segi moral - untuk membantu pasangannya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan, "Bagi lelaki (suami)  terhadap  mereka  (wanita/istri)  satu derajat (lebih tinggi)." Derajat  lebih  tinggi  yang  dimaksud  dalam  ayat  di atas dijelaskan oleh surat  An-Nisa'  ayat  34,  yang  menyatakan bahwa  "lelaki  (suami)  adalah  pemimpin terhadap perempuan (istri)."

 Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan  hal  yang  mutlak, lebih-lebih  bagi  setiap  keluarga,  karena  mereka  selalu bersama,  serta  merasa  memiliki  pasangan  dan   keluarga, Persoalan  yang dihadapi suami-istri, muncul dari sikap jiwa manusia  yang  tercermin  dari  keceriaan  atau  cemberutnya wajah.  Sehingga  persesuaian  dan perselisihan dapat muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan  dimana  pun. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin yang melebihi kebutuhan suatu perusahaan  yang  sekadar  bergelut dengan  angka,  dan  bukannya  dengan perasaaan serta diikat oleh perjanjian yang bisa diselesaikan melalui pengadilan.


Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip  dari ayat  di  atas, dibebankan  kepada  suami.  Pembebanan  itu disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a.       Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih  dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan istri.

b.       Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.
Ibnu Hazm - seorang ahli hukum  Islam  -  berpendapat  bahwa wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam hal menyediakan makanan, menjahit,  dan  sebagainya.  Justru sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan makanan yang siap dimakan untuk istri dan anak-anaknya. Walaupun diakui dalam kenyataan  terdapat  istri-istri  yang memiliki  kemampuan  berpikir  dan materi melebihi kemampuan suami, tetapi semua itu merupakan  kasus  yang  tidak  dapat dijadikan  dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat umum

Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa  pembagian  kerja  ini tidak membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari segi kewajiban moral - untuk membantu pasangannya dalam  hal yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini
Abu Tsaur, seorang  pakar  hukum  Islam,  berpendapat  bahwa seorang  istri hendaknya membantu suaminya dalam segala hal.
Salah satu alasan yang  dikemukakannya  adalah  bahwa  Asma, putri  Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga membantu   suaminya   antara   lain  dalam  memelihara  kuda

suaminya, menyabit  rumput,  menanam  benih  di  kebun,  dan sebagainya.

Tentu  saja  di  balik  kewajiban suami tersebut, suami juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh  istrinya.  Suami wajib  ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hak pribadi sang  istri.  Sedemikian  penting  kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah Saw. bersabda, "Seandainya aku memerintahkan  seseorang  untuk  sujud   kepada   seseorang, niscaya  akan  kuperintahkan  para  istri untuk sujud kepada

suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa sunnah  tanpa  seizin  suaminya.  Hal  ini disebabkan karena seorang  suami   mempunyai   hak   untuk   memenuhi   naluri seksualnya.

Dapat  ditambahkan  bahwa  Rasulullah  Saw. menegaskan bahwa seorang istri memimpin rumah tangga  dan  bertanggung  Jawab atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugas-tugas yang  harus  dipenuhi,  serta  peran  yang diembannya  saat  memelihara  rumah  tangga,  baik dari segi kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu  makanan, maupun  pada  keseimbangan  anggaran.  Bahkan pun istri ikut bertanggung  jawab bersama  suami  -  untuk  menciptakan ketenangan  bagi  seluruh  anggota keluarga, misalnya, untuk tidak menerima tamu pria atau wanita  yang  tidak  disenangi oleh  sang  suami.  Pada  tugas-tugas  rumah  tangga  inilah Rasulullah Saw. membenarkan seorang istri  melayani  bersama suaminya tamu pria yang mengunjungi rumahnya.

Pada  konteks  inilah  perintah Al-Quran harus dipahami agar para istri berada di rumah.
Firman Allah waqarna fi buyutikunna  (Dan  tetaplah  tinggal berdiam  di  rumah  kalian)  dalam  surat  Al-Ahzab ayat 33, menurut kalimatnya ditujukan untuk istri-istri Nabi  kendati dapat  dipahami  sebagai  acuan  kepada  semua wanita. Namun tidak berarti bahwa wanita  harus  terus-menerus  berada  di rumah    dan    tidak    diperkenalkan   keluar,   melainkan mengisyaratkan bahwa tugas pokok  yang  harus  diemban  oleh seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.

Tidak ada komentar: