Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu
qawammuna 'alan nisa' biasanya dijadikan sebagai salah satu
rujukan, karena ayat tersebut berbicara tentang
pembagian kerja antara suami-istri. Memahami pesan ayat ini,
mengundang kita untuk menggarisbawahi terlebih dahulu
dua butir prinsip yang melandasi hak dan kewajiban
suami-istri:
- Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis. Bahkan menurut Dr. Alexis Carrel salah seorang dokter yang pernah meraih dua kali hadiah Nobel -perbedaan tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masing-masing kelamin. Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap kedua jenis manusia itu didasarkan oleh perbedaan-perbedaan itu.
- Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah satu pihak bebas dan tuntutan – minimal dari segi moral - untuk membantu pasangannya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan,
"Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri)
satu derajat (lebih tinggi)." Derajat lebih tinggi
yang dimaksud dalam ayat di atas dijelaskan oleh
surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan bahwa
"lelaki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan
(istri)."
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan
hal yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap
keluarga, karena mereka selalu bersama, serta
merasa memiliki pasangan dan keluarga, Persoalan
yang dihadapi suami-istri, muncul dari sikap jiwa manusia yang
tercermin dari keceriaan atau cemberutnya wajah.
Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tetapi
boleh juga sirna seketika dan dimana pun. Kondisi seperti ini
membutuhkan adanya seorang pemimpin yang melebihi kebutuhan suatu
perusahaan yang sekadar bergelut dengan angka,
dan bukannya dengan perasaaan serta diikat oleh perjanjian yang
bisa diselesaikan melalui pengadilan.
Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang
dikutip dari ayat di atas, dibebankan kepada
suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a.
Adanya
sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang
suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan istri.
b.
Adanya
kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.
Ibnu Hazm - seorang ahli
hukum Islam - berpendapat bahwa wanita pada dasarnya
tidak berkewajiban melayani suami dalam hal menyediakan makanan,
menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah yang
berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan makanan yang siap dimakan untuk istri
dan anak-anaknya. Walaupun diakui dalam kenyataan terdapat
istri-istri yang memiliki kemampuan berpikir dan materi
melebihi kemampuan suami, tetapi semua itu merupakan kasus
yang tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan suatu
kaidah yang bersifat umum
Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa pembagian
kerja ini tidak membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari
segi kewajiban moral - untuk membantu pasangannya dalam hal yang
berkaitan dengan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini
Abu Tsaur, seorang pakar hukum
Islam, berpendapat bahwa seorang istri hendaknya membantu
suaminya dalam segala hal.
Salah satu alasan yang dikemukakannya
adalah bahwa Asma, putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan
bahwasanya ia dibantu oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma,
juga membantu suaminya antara lain
dalam memelihara kuda
suaminya, menyabit rumput, menanam
benih di kebun, dan sebagainya.
Tentu saja di balik kewajiban suami
tersebut, suami juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh
istrinya. Suami wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan
ajaran agama dan hak pribadi sang istri. Sedemikian
penting kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah Saw. bersabda,
"Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk
sujud kepada seseorang, niscaya akan kuperintahkan
para istri untuk sujud kepada
suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri
berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya. Hal ini
disebabkan karena seorang suami mempunyai
hak untuk memenuhi naluri seksualnya.
Dapat ditambahkan bahwa Rasulullah
Saw. menegaskan bahwa seorang istri memimpin rumah tangga dan
bertanggung Jawab atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut
terlihat dalam tugas-tugas yang harus dipenuhi, serta
peran yang diembannya saat memelihara rumah tangga,
baik dari segi kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu
makanan, maupun pada keseimbangan anggaran. Bahkan pun istri
ikut bertanggung jawab bersama suami - untuk
menciptakan ketenangan bagi seluruh anggota keluarga,
misalnya, untuk tidak menerima tamu pria atau wanita yang
tidak disenangi oleh sang suami. Pada
tugas-tugas rumah tangga inilah Rasulullah Saw. membenarkan
seorang istri melayani bersama suaminya tamu pria yang mengunjungi
rumahnya.
Pada konteks inilah perintah Al-Quran
harus dipahami agar para istri berada di rumah.
Firman Allah waqarna fi buyutikunna (Dan
tetaplah tinggal berdiam di rumah kalian)
dalam surat Al-Ahzab ayat 33, menurut kalimatnya ditujukan untuk
istri-istri Nabi kendati dapat dipahami sebagai
acuan kepada semua wanita. Namun tidak berarti bahwa wanita
harus terus-menerus berada di rumah
dan tidak diperkenalkan
keluar, melainkan mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang
harus diemban oleh seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar