Bangsa Arab di masa jahiliyah pesimis dengan kelahiran
anak-anak wanita dan mereka merasa hina, sehingga ada salah seorang bapak yang
berkata ketika dikaruniai anak wanita, " Demi Allah, ia
bukan sebaik-baik anak, pertolongannya adalah hanya membuat tangis dan berbuat
baiknya adalah pencurian."
Ia bermaksud bahwa anak wanita tidak bisa menolong ayahnya
dan keluarganya kecuali dengan jeritan dan tangis belaka, tidak dengan
peperangan dan senjata, dan tidak bisa berbuat baik kepada keluarganya kecuali
mengambil harta suaminya untuk keluarganya.
Tradisi yang mereka wariskan memperbolehkan bagi seorang
ayah untuk mengubur hidup-hidup anak puterinya, karena takut miskin atau
menganggapnya sebagai aib besar di mata kaumnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Al
Qur'an yang mengingkari perbuatan buruk itu:
" Apabila
bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia
dibunuh." (At-Takwir: 8-9)
Al Qur'an juga menggambarkan sikap para bapak ketika
menyambut kelahiran anak-anak wanitanya:
"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitam (merah padamlah) mukannya, dan dia sangat
marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburnya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah,
alanglah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (An-Nahl: 58-59)
Sebagian syari'at lama memberikan wewenang kepada seorang
bapak untuk menjual anak perempuannya apabila ia berkeinginan. Seperti aturan
"Hamurabi" yang memperbolehkan seorang ayah untuk menyerahkan anak
perempuannya kepada orang lain untuk membunuhnya atau memilikinya, maka seorang
ayah itu telah membunuh puteri orang lain.
Islam datang dengan menganggap anak wanita seperti anak
laki-laki yaitu merupakan pemberian dan karunia Allah yang diberikan kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, Allah berfirman:
" Kepunyaan
Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan
memberikan anak-anak lelaki kepada siapa saja yang Dia kehendaki, atau Dia
menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang
dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa." (Asy Syura: 49-50)
Al Qur'an juga menjelaskan di dalam kisah-kisahnya bahwa
sesungguhnya sebagian anak-anak perempuan itu lebih besar pengaruhuya dan lebih
kekal kenangannya daripada kebanyakan anak laki-laki. Seperti dalam kisah
Maryam puteri Imran yang telah dipilih oleh Allah SWT dan disucikan melebihi
para wanita di seluruh alam semesta padahal ketika sang ibu mengandungnya, ia
menginginkan agar anaknya lahir laki-laki sehingga bisa berkhidmah di Baitil
Maqdis dan agar termasuk orang-orang shalih. Allah SWT berfirman:
" (Ingatlah),
ketika isteri Imran berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan
kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shalih dan
berkhidmad (di Baitil Maqdis). Karena itu terimalah (nadzar) itu dariku.
Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Maka tatkala
isteri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata, "Ya Tuhanku,
sesungguhnnya aku melahirkan seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui
apa yang dilahirkannnya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak
perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan
untuknya serta anak-anak keturunannnya kepada (pemeliharaan) Engkau dari syetan
yang terkutuk . Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nadzar) dengan penerimaan
yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik ..." (Ali 'Imran:
35-37)
Al Qur'an mengecam dengan keras terhadap orang-orang yang
berkeras hati dan membunuh anak-anak mereka, baik anak laki-laki atau
perempuan, Allah SWT berfirman:
" Sesungguhnya
rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui"
(Al An'am: 140)
" Dan janganlah
kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki
kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa
yang besar." (Al Isra': 31)
Rasulullah SAW telah menjadikan surga sebagai balasan untuk
setiap bapak yang baik dalam memperlakukan anak wanitanya dan bersabar untuk
mendidik mereka dan baik dalam mendidiknya. Memelihara hak Allah atas mereka,
hingga mereka dewasa atau mati karena membela mereka. Nabi SAW juga menjadikan
kedudukan orang itu di sisinya SAW di surga yang penuh kenikmatan dan kekal
abadi.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas RA, dari Rasulullah SAW,
beliau bersabda, " Barangsiapa yang merawat dua anak gadis hingga aqil
baligh maka ia datang pada hari kiamat, sedangkan saya dan dia seperti
ini." Kemudian Nabi merapatkan telunjuknya (artinya, saling
berdekatan)."
Ibnu Abbas RA meriwayatkan dari Nabi SAW beliau
bersabda:
" Tidaklah
seorang Muslim yang mempunyai dua anak puteri, kemudian berbuat baik kepada
keduanya kecuali keduannya akan memasukkannya ke dalam surga." (HR. Ibnu
Majah)
Sebagian hadits menjelaskan bahwa pembalasan masuk surga
itu diperuntukkan bagi seseorang (saudara laki-laki) yang memelihara
saudara-saudara perempuannya atau dua saudara perempuannya juga.
Sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa pembalasan
llahi ini diperuntukkan juga bagi orang yang berbuat baik kepada anak wanitanya
walaupun hanya satu.
Di dalam haditsnya Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW
bersabda:
"Barangsiapa yang mempunyai tiga anak wanita, kemudian
bersabar atas tinggal mereka, kesusahan mereka dan kesenangan mereka, maka
Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan rahmat-Nya kepada mereka,"
ada seseorang yang bertanya, "Bagaimana jika dua anak wahai
Rasulullah?" Nabi SAW bersabda, "(ia) dua anak wanita juga,"
orang itu bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika satu anak
wanita?" Nabi menjawab, "Satu juga" (HR. Hakim)
Ibnu Abbas meriwayatkan hadits marfu':
" Barangsiapa
yang mempunyai anak wanita, kemudian tidak ditanam hidup-hidup, tidak dihina dan
tidak berpengaruh (mengutamakan) anak laki-laki atas anak wanita maka Allah
akan memasukkannya ke dalam surga." (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Di dalam hadits Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
" Barangsiapa
yang diuji dengan dikaruniai anak-anak wanita, kemudian ia berbuat baik kepada
mereka, maka mereka itu akan menjadi penangkal dan api neraka."
Dengan keterangan nash-nash yang sharih ini dan khabar
gembira yang terus diulang-ulang dengan meyakinkan ini, maka kelahiran anak
wanita bukanlah beban yang mesti ditakuti (dikhawatirkan). Bukan pula merupakan
kenistaan yang dihindari, akan tetapi merupakan kenikmatan yang harus disyukuri
dan rahmat yang diharapkan dan dicari. Karena dia merupakan karunia Allah SWT
dan pahala-Nya yang besar.
Dengan demikian maka Islam telah meniadakan tradisi
mengubur anak wanita secara hidup-hidup untuk selamanya. Seorang anak perempuan
di hati ayahnya telah memiliki posisi yang terhormat sebagaimana diungkapkan
oleh Rasulullah SAW terhadap puterinya Fathimah RA, "Fathimah adalah
bagian dari diriku, meragukan aku apa-apa yang meragukannya."
Adapun kekuasaan ayah terhadap anak wanitanya maka tidak
boleh melampaui batas dari kerangka pendidikan, pemeliharaan, pelurusan
nilai-nilai agama dan moralitas anak. Sehingga di sini anak wanita itu
diperlakukan seperti anak laki-laki, di mana orang tua memerintahkan kepada
anak wanitanya itu untuk melakukan shalat apabila telah mencapai usia tujuh
tahun, dan memukulnya karena meninggalkan shalat apabila telah berumur sepuluh
tahun. Orang tua juga memisahkan tempat tidur anak wanitanya itu dari saudara
laki-lakinya dan menekankan untuk berperilaku Islami, baik dalam berpakaian,
berhias, ketika keluar rumah dan pada waktu berbicara.
Pemberian nafkah orang tua kepada anak wanitanya itu
hukumnya wajib hingga ia menikah. Sejak itu orang tua tidak lagi punya
wevvenang untuk menjualnya atau menyerahkannya kepada orang lain untuk dimiliki
dalam keadaan apa pun. Islam telah meniadakan jualbeli orang yang merdeka baik
laki-laki maupun wanita dalam keadaan apa pun.
Kalaupun seandainya masih ada orang yang menjual atau
menyerahkan anak wanitanya untuk dimiliki sehingga menjadi budak di tangan
orang lain, maka anak itu hakikatnya tetap merdeka. Dia hanya sekedar dapat
dimiliki, itu pun harus melalui pengesahan sesuai ketentuan Islam.
Apabila seorang anak wanita itu memiliki harta secara
khusus, maka tidak ada hak bagi ayahnya kecuali mempergunakan harta itu dengan
baik. Dan tidak boleh bagi seorang ayah untuk menikahkan anak wanitanya dengan
orang lain, supaya orang tersebut ganti menikahkan anak wanitanya dengan dia,
inilah yang dinamakan nikah "Shighar," yaitu pernikahan tanpa mas
kawin yang merupakan hak anak wanitanya, dan bukan hak ayahnya.
Tidak boleh bagi seorang ayah menikahkan anak wanitanya
yang sudah baligh dengan orang yang tidak disukai oleh anak tersebut. Tetapi ia
harus meminta pendapat dari anaknya apakah mau menerima atau tidak. Apabila
anak wanitanya itu seorang janda maka harus memperoleh persetujuannya dengan
jelas, dan apabila dia seorang gadis yang pada umumnya adalah pemalu maka cukup
dengan diamnya. Karena diamnya seorang gadis itu adalah tanda menerima. Akan
tetapi jika ia berkata, "tidak" maka tidak ada kekuasaan baginya
untuk memaksa anaknya agar menikah dengan orang yang tidak disukai.
Dari Abi Hurairah RA (di dalam hadits marfu') Rasullah SAW
bersabda :
" Wanita janda
itu tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai pendapat dan wanita gadis itu
tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izin.," shahabat bertanya,
"Wahai Rasulullah, bagaimana cara meminta izin? Nabi bersabda, "Jika
ia diam." (HR. Al Jama'ah)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari 'Aisyah ra, ia
berkata, "Rasulullah bersabda, wanita gadis itu dimintai izin," aku
berkata, "Sesungguhnya wanita gadis itu hisa dimintai izin tetapi ia
pemalu. Nabi menjawab, "Izinnya adalah diamnya." Oleh karena itu
ulama' mengatakan." Sebaiknya wanita gadis itu diberi tahu bahwa diamnya
itu berarti izinnya."
Dari Khansa binti Khaddam Al Anshariyah,
"Sesungguhnya ayahnya menikahkan dia, sedangkan dia
seorang janda maka ia tidak suka pernikahan itu, kemudian datang kepada
Rasulullah maka Rasulullah menolak pernikahannya (HR. Al Jama'ah kecuali
Muslim).
Dari Ibnu Abbas RA, "Sesungguhnya ada seorang wanita
(gadis) datang kepada Rasulullah kemudian menceritakan bahwa ayahnya telah
menikahkan dia, tetapi dia tidak suka (pernikahan itu), maka Nabi SAW menyuruh
dia untuk memilih (dilanjutkan atau tidak)." (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah)
Ini semua membuktikan bahwa sesungguhnya seorang ayah itu
tak berbeda dengan lainnya di dalam wajibnya meminta ijin kepada wanita yang
masih gadis dan pentingnya memperoleh persetujuan darinya.
Di dalam shahih Muslim disebutkan, wanita gadis itu
dimintai persetujuannya oleh ayahnya."
Dari Aisyah ra, "Sesungguhnya ada seorang wanita gadis
masuk ke rumahnya, lalu berkata,
" Sesungguhnya
bapakku telah menikahkan aku dengan anak saudaranya (saudara sepupu) dengan
maksud ingin mengangkat derajatnnya, tapi saya tidak suka." Aisyah
berkata, "Duduklah hingga Nabi SAW datang," lalu aku memberitahu
kepadanya kemudian Nabi mengirimkan utusan kepada ayahnya untuk didatangkan,
lalu keputusan masalah ini diserahkan kepada anaknya. Anak itu berkata, "Wahai
Rasulullah SAW sungguh engkau telah memberi kesempatan kepadaku terhadap apa
yang dilakukan oleh ayahku, tetapi saya ingin tahu apakah diperbolehkan bagi
kaum wanita untuk memutuskan sesuatu?" (HR. Nasa'i)
Hadits-hadits tersebut secara zhahir menunjukkan bahwa
sesungguhnya meminta ijin wanita gadis atau janda itu merupakan syarat sah
aqad. Sehingga apabila seorang ayah atau wali menikahkan wanita janda tanpa
meminta ijin kepadanya maka akadnya batal dan ditolak, sehagaimana terdapat di
dalam kisah Khansa binti Khaddam. Demikian juga berlaku pada wanita yang masih
gadis ia berhak memilih menerima atau menolak. Maka akad juga menjadi batal
sebagaimana kisah seorang gadis (di jaman Rasulullah SAW).
Di antara keindahan syariat islam adalah, bahwa Islam
memerintahkan kepada kita untuk meminta pendapat ibu dalam menikahkan anak
wanitanya, sehingga pernikahan itu bisa berjalan dengan memperoleh ridha
(persetujuan) dari semua pihak yang terkait.
Dari Ibnu Umar RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda,
" Ajaklah kaum
wanita itu untuk bermusyawarah mengenai anak-anak wanitanya." (HR. Ahmad
dan Abu Dawud)
Apabila seorang ayah tidak berhak untuk menikahkan anak
perempuannya dengan orang yang tidak disukai, maka merupakan kewajiban anak
tersebut untuk tidak menikahkan dirinya kecuali dengan ijin ayahnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW, "Tidak ada (tidak sah)
pernikahan kecuali dengan wali." (HR. Al Khamsah, kecuali Nasa'i)
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa
diperbolehkan bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa seijin
ayahnya atau walinya, dengan syarat suaminya itu sekufu dengan dia. Pendapat
ini tidak ada landasan dari hadits.
Yang paling baik pernikahan itu harus melalui persetujuan
ayah, ibu dan anaknya, sehingga tidak ada peluang untuk menjadi pembicaraan di sana sini atau
menimbulkan permusuhan dan kebencian karena Allah SWT mensyariatkan pernikahan
itu untuk memperoleh mawadah wa rahmah.
Idealnya seorang ayah memilihkan untuk anak putrinya lelaki
shalih yang dapat membahagiakan semua pihak. Dan hendaknya yang menjadi
perhatian utama adalah akhlaq dan agamanya, bukan materi dan harta. Juga
hendaknya orang tua tidak mempersulit proses pernikahan apabila ada seseorang
yang melamar anaknya.
Di dalam hadits Rasulullah SAW dikatakan, "Apabila
datang kepadamu orang yang kamu ridhai akhlaq dan agamanya maka nikahkan ia
(dengan putrimu), jika tidak kamu laksanakan maka akan terjadi fitnah di bumi
ini dan kerusakan yang merata." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)
Dengan demikian maka Islam mengajarkan kepada setiap orang
tua bahwa sesungguhnya anak wanita itu adalah "manusia" sebelum yang
lainnya. Dia bukanlah benda mati yang diperjual-belikan atau ditukar dengan
materi sebagaimana yang sering dilakukan oleh para orang tua di masa jahiliyah.
Rasulullah SAW bersabda:
"Pernikahan yang paling besar berkahnya adalah yang
paling ringan (mudah biayanya)." (HR. Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar