Saya pernah membaca kisah seorang wanita pengusaha yang
memulai usahanya dari nol. Uniknya si ibu muda ini dulunya pernah mengenyam
bangku kuliah sebuah universitas swasta terkenal di Jakarta. Semasa kuliah ia aktif dalam salah
satu organisasi di kampusnya. Setelah menikah ia tinggalkan semua aktifitas di
luar, karena sang suami yang seorang pengusaha menginginkan ia menjadi seorang
ibu rumah tangga sejati yang hanya mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya.
Kisah usaha ibu muda ini berawal dari kegagalan usaha sang
suami yang berujung pada kebangkrutan. Sang suami saat itu mengalami depresi
karena kegagalannya tersebut. Melihat kondisi seperti itu, wanita tegar ini
langsung berinisiatif untuk menghidupkan kembali salah satu usaha milik
suaminya. Saat itu yang masih mereka punyai hanya beberapa unit mesin jahit
bekas usaha konveksi suaminya.
Dengan semangat ia mulai mempelajari teknik membuat pola
dan menjahit hingga akhirnya ia bisa membuat sebuah blazer yang kemudian ia
jajakan contoh jahitannya itu dari satu toko ke toko lain di sebuah pasar di Jakarta.
Awal usahanya ini memang berat, toko-toko yang ia datangi
menolak contoh jahitannya itu. Beberapa hari kemudian akhirnya sebuah toko
bersedia menjual blazernya. Dan ternyata kegigihannya membuahkan hasil;
blazernya laku keras, orderan pun mengalir deras, hingga akhirnya ia bisa
mempekerjakan banyak karyawan, memperbesar usahanya dan tentu saja berhasil
menyelamatkan biduk rumah tangganya yang hampir karam.
Baru-baru ini ada kisah menarik tentang seorang ibu muda
berusia 34 tahun asal Wonocolo Surabaya. Ia adalah seorang pengusaha mikro
lulusan sekolah menengah atas. Pada tanggal 18 November yang lalu ia menghadiri
sekaligus berbicara di Ruang Konferensi II Markas Besar PBB setelah memenangi
lomba Micro Credit Award 2005 yang diselenggarakan oleh Kantor Menko
Perekonomian. Ia berada di forum internasional yang dihadiri 250 delegasi
negara anggota PBB itu untuk menghadiri pencanangan Tahun Kredit Mikro
Internasional 2005.
Penuturan ibu muda berputra tiga orang ini tentang usaha
kecilnya mengundang decak kagum siapa pun yang hadir saat itu. Ia tidak hanya
telah berhasil mengembangkan usaha membuat pakaian, tas, aksesori, dan barang
kerajinan dari kain atau percanya yang diawalnya pada tahun 1998 dengan hanya
bermodalkan uang 500 ribu rupiah itu dengan secara profesional tapi juga ia
telah berhasil membina dan memberdayakan para pekerjanya yang 80 persen adalah
tuna daksa.
Atas hadiah yang diterima, ia mengatakan uang itu akan
digunakan membangun paviliun guna menampung para tuna daksa dan remaja putus
sekolah yang dilatih di rumahnya, karena selama ini para pekerjanya tidur di
setiap celah yang ada di rumahnya.
Seperti kata Ibu Dewi Sartika, salah satu Pahlawan
Emansipasi Wanita Indonesia,
bahwa wanita harus mempunyai pengetahuan untuk hidup. Perkataannya itu keluar
sebagai kesadarannya yang timbul setelah bapaknya yang seorang patih di Bandung meninggal dunia,
dan kekayaan keluarganya disita oleh pemerintah Belanda. Saat itu usianya masih
belasan tahun, tapi Dewi sartika dan ibunya harus berjuang untuk hidup.
Ya, wanita memang harus mempunyai pengetahuan untuk hidup. Ada kalanya kehidupan
datang tidak seperti yang kita inginkan. Seperti kejadian ibu muda di atas yang
tiba-tiba harus berjuang menyelamatkan rumah tangganya. Beruntung si ibu ini
pernah mengenyam pengalaman berorganisasi sehingga pada dirinya sudah tertanam
keterampilan interpersonal yang baik juga semangat untuk berjuang dan belajar.
Bagaimana halnya jika hal ini terjadi pada wanita yang selama hidupnya serba
lancar-lancar saja, maksudnya belum pernah mengalami terpaan hidup? Bisa jadi
ia pun bisa menjadi penyelamat biduk rumah tangganya, tapi bukankah sesuatu
yang datangnya tiba-tiba akan memberikan goncangan jiwa yang tidak bisa
dianggap enteng?
Banyak para suami, karena terlalu sayang pada istri, tidak
mengizinkan para istri untuk bekerja. Hal ini memang bisa dipahami karena
suamilah yang bertugas mencukupi kehidupan keluarga. Tapi alangkah baiknya jika
para suami pun memberikan keterampilan hidup bagi para istrinya atau memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya
sehingga istrinya bisa memiliki peranan tidak hanya dalam rumah tangganya saja
tapi juga peranan dalam membina lingkungan masyarakatnya seperti halnya ibu
muda pengusaha mikro yang saya ceritakan di atas.
Ada juga wanita yang setelah
anak-anaknya tumbuh dewasa, baru bisa membantu finansial keluarga ataupun turut
aktif dalam mewujudkan keshalehan sosial di lingkungannya. Selama masa-masa
membesarkan anak-anaknya, dia tidak pernah berhenti belajar sehingga ketika
saatnya tiba dia bisa berperan lebih.
Memang sulit bagi wanita zaman sekarang untuk berperan
ganda. Di zaman yang penuh tantangan ini tidaklah mudah mendidik anak sementara
dia juga harus aktif di luar rumah, seperti bekerja ataupun aktif dalam
kegiatan masyarakat. Jangan-jangan sukses di luar tapi anak-anaknya mengalami
degradasi moral akibat kurangnya perhatian orang tua yang sibuk bekerja. Hal
ini dikembalikan kepada istri dan sang suami karena ternyata tidak sedikit
keluarga yang istrinya bekerja tapi bisa mengantarkan anak-anaknya menjadi
pribadi yang mandiri dan berakhlak baik.
Ada baiknya kita renungkan kembali perkataan Ibu Kita Dewi
Sartika juga pengalaman sebagian wanita "petarung", seperti cerita
wanita di atas, tentang pentingnya wanita memiliki keterampilan hidup sejak
dini, agar di saat yang tepat mereka mampu berperan lebih dan tampil mandiri
tanpa harus merepotkan orang-orang di sekitarnya di saat-saat biduk rumah
tangganya berada pada kondisi gawat darurat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar