13.1.11

Hak Dan Kewajiban Belajar Wanita


Amat banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditjukan kepada lelaki maupun perempuan, di antaranya,

" Menuntut  ilmu  adalah   kewajiban   setiap   Muslim   (dan Muslimah)" (HR Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud).

Para  perempuan di zaman Nabi Saw. menyadari benar kewajiban ini,  sehingga  mereka  memohon  kepada  Nabi  agar   beliau bersedia  menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan  ini  tentu saja dikabulkan oleh Nabi Muhammad Saw.

 Al-Quran  memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir dan memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut  hal  tersebut  mengantarkan  manusia  mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Mereka yang  dinamai  ulul  albab tidak  terbatas  pada  kaum lelaki saja, melainkan juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat di atas, yang menguraikan   tentang   sifat-sifat   ulul  albab,  Al-Quran menegaskan bahwa:
" Maka Tuhan  mereka  mengabulkan  permohonan  mereka  dengan berfirman,  "Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki  maupun perempuan." (QS Ali 'Imran [3]: 195)

Ini   berarti   bahwa   kaum   perempuan   dapat   berpikir, mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati  setelah  berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini.

Pengetahuan tentang  alam  raya  tentunya  berkaitan  dengan berbagai   disiplin  ilmu,  sehingga  dari  ayat  ini  dapat  dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari  apa  saja, sesuai  dengan  keinginan  dan  kecenderungan masing-masing. Sejarah membuktikan bahwa banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya   dalam  berbagai  bidang  ilmu  pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.

 Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah salah seorang yang mempunyai pengetahuan  sangat  dalam  serta  termasyhur  pula  sebagai seorang kritikus, sampai-sampai ada ungkapan  terkenal  yang dinisbahkan  oleh  sementara  ulama  sebagai pernyataan Nabi Muhammad Saw.: Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari  Al-Humaira,  (yakni Aisyah).

Demikian  juga  As-Sayyidah  Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang  bergelar "Fakhr Al-Nisa', (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'i, tokoh mazhab yang  pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

 Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang  sangat terhormat, misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah. Rasulullah  Saw.  tidak  membatasi  kewajiban  belajar hanya kepada perempuan-perempuan  merdeka  (yang  memiliki  status sosial  tinggi),  tetapi  juga  para budak belian dan mereka yang bersatus sosial rendah.  Karena  itu  sejarah  mencatat sekian  banyak  perempuan yang tadinya budak belian kemudian
mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.

Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana  dikutip oleh   Dr.   Abdul   Wahid  Wafi,  memberitakan  bahwa  Ibnu Al-Mutharraf, seorang  pakar  bahasa  pada  masanya,  pernah mengajarkan   seorang   perempuan   liku-liku  bahasa  Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki  kemampuan  yang melebihi  gurunya  sendiri,  khususnya  dalam  bidang puisi, sampai  ia  dikenal   dengan   nama   Al-'Arudhiyat   karena keahliannya dalam bidang ini.

Harus  diakui  hahwa  pembidangan  ilmu pada masa awal Islam belum sebanyak dan seluas sekarang ini.  Namun  Islam  tidak membedakan  satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka  yang  disebut  namanya  di  atas hidup  pada masa kini, tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu  yang  berkembang  dewasa ini.

 Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh menulis: 
Kalaulah  kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum akidah kelihatannya amat terbatas,  sesungguhnya  kewajiban  mereka untuk   mempelajari  hal-hal  yang  berkaitan  dengan  rumah tangga,  pendidikan   anak,   dan   sebagainya,   merupakan persoalan-persoalan  duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat,  dan  kondisi)  jauh  lebih  banyak daripada soal-soal akidah atau keagamaan.

Demikianlah  sekilas  menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang  pendidikan.  Kalau  demikian  halnya,  mengapa timbul pandangan yang membatasi wanita untuk belajar? Sekali lagi,  salah  satu  penyebabnya  adalah  ayat   waqarna   fi buyutikunna yang dikemukakan di atas.


















Tidak ada komentar: